Andai Al-Qur'an bisa bicara, ia akan berkata: "Waktu kau masih anak-anak, kau bagai teman sejatiku, dengan wudhu kau sentuh aku, dalam keadaan suci kau pegang aku, kau baca dengan lirih dan keras, sekarang kau telah dewasa, nampaknya kau sudah tidak berminat lagi kepadaku, apakah aku bacaan usang? Yang tinggal sejarah? Sekarang kau simpan aku dengan rapi, kau biarkan aku sendiri. Aku menjadi kusam dalam lemari, berlapis debu, dimakan kutu. Ku mohon peganglah aku lagi, bacalah aku setiap hari, karena aku akan jadi penerang dalam KUBURMU!!"
Seorang teman mengirimiku sms dengan isi seperti diatas. Saat itu aku hanya membacanya sekilas, dan bergumam, "mungkin dia hanya ingin menghabiskan sisa bonus smsnya" dan setelah itu aku pun melanjutkan aktivitasku tanpa bertanya maksud dari temanku mengirim sms seperti itu kepadaku. Aku tak pernah ambil pusing.
Kini sudah lebih dari satu tahun sms itu ada di hpku. Tak ada niat dariku untuk menyimpan sms itu tapi entah kenapa tak pernah terbersit keinginan untuk menghapusnya dari dalam inboxku. Pada akhirnya kubiarkan saja sms itu ada di inboxku, walaupun aku tak pernah membacanya lagi. Tersimpan di bagian paling bawah inboxku, menunggu untuk di buka.
Layar hpku berkedip-kedip, terlihat sebuah notifikasi bahwa inboxku sudah penuh. Pada keadaan ini, biasanya aku menyortir sms mana yang harus aku hapus, dan sms penting mana yang masih ingin aku simpan. Tanganku terhenti pada sms ini. Iseng, akupun membuka dan membacanya sekali. Tak cukup mengerti, aku baca sekali lagi, dan tiba-tiba bulu roma di tengkukku berdiri. Entah dari mana rasa itu, aku bergidik saat membacanya. Tiba-tiba muncul bayangan-bayangan tentang masa kecilku secara sekilas. Aku termangu dalam diam mengingat kenangan masa kecilku. Aku terhanyut didalamnya.
Isi dari sms itu mengingatkanku bagaimana semasa kecil sangat "akrab" dengan Kitabku, Al-Qur'an. Hampir setiap selesai salat maghrib ibuku mengharuskanku mengaji ayat-ayat suci Al-Qur'an. Aku menurut, tapi tak jarang juga aku membangkang tak mau mengaji dengan berbagai alasan, yang sebenarnya aku buat-buat hanya karena aku sedang malas. Tak jarang ibuku sampai marah karena aku tidak mau mengaji. Pada saat itu, aku hanya membaca sesukaku, yang penting aku mengaji, pikirku. Ya, aku memang sangat nakal waktu itu. Bagiku membaca Al-Qur'an sangat membosankan. Aku mengaji hanya karena dorongan dan desakan dari ibuku, tanpa tau makna dari setiap ayat yang kubaca. Parahnya kegiatan itu terus berlanjut hingga aku lulus SMP.
Aku mulai melupakan kegiatan mengaji saat aku sudah masuk SMA, dengan dalih bahwa aku sangat sibuk karena harus belajar dan banyak PR. Ibuku yang dengan sabarnya hanya tersenyum dan mencoba mengerti alasanku, egoku, keegoisanku. Aku, tentu saja merasa senang karena sudah tak perlu lagi menjalankan kewajiban mengaji. Aku bisa bermain sesukaku, pikirku dan menonton TV dengan santai. Padahal sebenarnya tak perlu waktu lama untuk mengaji, hanya sekitar setengah jam. Tapi entah mengapa setengah jam itu terasa lama, sangat membosankan. Waktu yang bisa kugunakan untuk mengaji aku buang secara percuma hanya untuk bermain dan menonton acara favoritku. Belajar, yang semula menjadi alasanku, hanya kulakukan beberapa kali saja. Aku senang dengan semua kebebasanku. Aku merasa bahagia dan bebas.
Sepulang salat maghrib dari masjid, seperti biasa ibuku selalu mengaji dikamarnya, sendiri tanpaku. Aku hanya terbaring malas di depan layar kaca menonton, mengacuhkannya. Sesekali ibu membujukku untuk ikut mengaji lagi, mengingatkanku akan pentingnya mengaji, tapi aku tak bergeming. Aku masih tak beranjak dari tempatku, tetap asik dengan acaraku, TVku. Ibu hanya diam melihat aksiku, diam, lalu pergi ke dalam kamar, menutup pintu dan mulai melantunkan ayat-ayat suci dari tiap-tiap lembar halaman kitab suci Al-Qur'an.
Ibuku selalu rutin mengaji tak hanya selepas salat maghrib, tapi juga selesai salat subuh. Tiap hari beliau melakukan kewajibannya tanpa mengenal lelah, beliau hanya berhenti saat sedang sakit yang membuat beliau hanya terbaring di atas kasur dan saat beliau sedang "libur".
Pernah aku membentaknya, memarahinya hanya karena beliau mengaji dengan suara agak keras dan pintu kamar tidak tertutup rapat. Aku yang saat itu sedang berkumpul dengan temanku merasa terganggu, dan apa reaksi ibuku, dia hanya tersenyum dan meminta maaf, lalu menutup pintu dan melanjutkan mengaji. Pernah juga aku marah karena suara beliau mengganggu tidurku saat subuh. Sekali lagi beliau tersenyum dan meminta maaf. Aku merasa menang. Aku merasa berkuasa. Aku tak pernah berpikir bahwa dibalik senyum itu beliau menahan sakit, perih didada karena aku, anaknya, membangkang. Aku telah mencabik perasaannya. Saat itu aku tak pernah mau tau. Ya, aku memang sangat egois.
Kini, setelah aku jauh darinya, aku tak pernah lagi mendengarkan suaranya melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Yang kudengar hanya alunan musik-musik pop, rock, jazz dari dalam laptopku. Alunan musik-musik itu memang merdu, tapi tak pernah semerdu suara ibuku saat ayat-ayat suci itu mengalun lancar keluar dari bibir beliau. Musik-musik itu tak pernah memberikan ketenangan seperti saat aku mendengarkan suara ibuku melantunkan ayat-ayat suci. Tapi sekarang aku tak bisa mendengarkan alunan ayat-ayat suci tersebut dari ibuku, kami berada pada jarak yang jauh.
Terbersit rasa rindu saat aku membaca isi sms tersebut, rindu dengan alunan suara ibuku saat beliau membacakan setiap ayat-ayat suci, rindu dengan kedamaian yang kurasakan saat suara itu menyentuh gendang telingaku, rindu dengan ketenangan yang menjalar ke setiap bagian tubuhku saat aku mendengar lagu bersyair ayat-ayat suci tersebut. Hanya alunan merdu ayat-ayat suci itu yang bisa memberikan ketenangan dan kedamaian.
Ingin aku berterima kasih kepada teman yang mengirimiku sms tersebut. Terima kasih telah mengingatkanku atas apa yang telah lama aku lupakan, yang telah lama aku tinggalkan, yang terpenting dalam hidupku. Tapi temanku telah pergi, ke tempat yang tak pernah bisa aku kunjungi. Dia telah meninggalkanku lebih dulu. Sang Pencipta memanggilnya tak lama setelah dia mengirim sms tersebut kepadaku. Aku hanya bisa berterima kasih melalui setiap doa yang kupanjatkan. Dia telah mengajarkanku bahwa kita tak pernah tau sampai kapan kita ada didunia ini, untuk itu aku tak boleh lupa dengan kewajibanku, salah satunya adalah membaca Al-Qur'an. Terima kasih kawan, terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar