11.11.13

Menjelajah Hutan Bakau di Pulau Dewata

Siapa sih yang tak kenal dengan Bali? Pulau di sebelah timur Pulau Jawa ini selalu menarik wisatawan, mau wisatawan domestik atau mancanegara. Keindahan alam Pulau Bali yang memesona dan adat budaya masyarakat Bali seakan menjadi pembius dan magnet bagi semua orang. Keindahan Bali seakan tak pernah memberikan kepuasan bagi orang-orang yang dahaga. Tak pelak setiap orang selalu ingin kembali mengunjungi Bali lagi dan lagi. Saya sendiri sudah tiga kali ini ke Bali dan masih saja terpesona dengan alamnya. 

Pulau dewata dikenal dengan wisata alamnya dan kunjungan ke pantai-pantai merupakan agenda wajib bagi setiap wisatawan yang datang. Tapi selain pantai, sebenarnya Bali memiliki banyak tempat wisata alam yang tidak kalah menarik lho. Salah satunya adalah mangrove forest yang terletak di Jalan By Pass Ngurah Rai sekitar 1 km sebelum patung Dewa Ruci. Ada plang disebelah kiri jalan yang menunjukkan jalan masuk ke mangrove forest ini. Mangrove forest atau hutan bakau ini dikelola oleh MIC (Mangrove Information Center). 



Bali mempunyai 3 hutan bakau yang memiliki total luas area 3000-5000 ha dan di Tahura Ngurah Rai ini luasnya sekitar 1375 ha. Sedangkan luas area hutan bakau yang berada dibawah pengelolaan MIC hanya sedikit saja, yaitu sekitar 100 ha. Padahal hutan bakau ini memiliki fungsi yang sangat penting yaitu untuk mencegah adanya abrasi yang diakibatkan oleh air laut. Mustinya pemerintah bisa menambah luas area pengelolaan mangrove forest ini agar lebih terjaga kelestariaannya.


Jembatan kayu di dalam hutan bakau untuk menjelajah hutan.

Pertama kali menginjakkan kaki di daerah mangrove forest ini, saya seolah diajak untuk masuk ke dimensi lain. Bagaimana tidak, lalu lintas By Pass Ngurah Rai yang bising seakan dihisap oleh rimbunnya hutan bakau di samping jalan. Semakin kita masuk ke dalam, keadaan semakin senyap. Dari jalan utama, saya harus melewati sekitar 200 meter untuk bisa sampai ke pintu masuk sebelum mulai menjelajah hutan bakau ini. Sepanjang menuju pintu masuk, banyak sekali plang tanda agar saya berkendara dengan pelan-pelan karena di daerah ini seringkali binatang seperti biawak menyeberang jalan tanpa menengok ke kanan atau kiri terlebih dulu. Saya pun juga tidak mau mengambil resiko mendapat mimpi buruk apabila tanpa sengaja melindas binatang malang tersebut. 

Untuk bisa menjelajah hutan bakau, saya harus membayar tiket sebesar 5000 rupiah. Harga yang cukup murah untuk menikmati keindahan hutan bakau yang memukau. Saya cukup kaget saat membayar tiket tersebut, karena seorang pria yang tiba-tiba muncul meminta saya membayar tiket masuk. Tidak ada loket di sini, hanya seorang pria yang berjaga di depan pintu masuk hutan. Karena hutan ini cukup luas, sebelum masuk saya membeli minuman di warung di sebelah tempat parkir. Saya tak mau mengambil resiko kehausan dan harus minum air sungai payau di sini nantinya. Air di sungai ini merupakan air payau, yaitu air tawar yang bercampur dengan air laut. Untuk menjelajahi hutan bakau ini, saya sarankan untuk datang saat sore hari saat cahaya matahari tidak terlalu menyengat sehingga kita bisa lebih nyaman berjalan mengelilingi hutan.


Pemandangan hutan bakau dari menara pengawas.

Awalnya saya berpikir bahwa saya akan becek-becek dan basah-basahan saat menjelajahi hutan bakau ini. Ternyata saya keliru karena di hutan bakau ini sudah dibuat jembatan dari kayu sepanjang kurang lebih 2 km membentang untuk menjelajah hutan bakau. Tidak perlu takut untuk menjejakkan kaki di jembatan kayu ini karena memang cukup kokoh walau sudah cukup berumur. Menjejakkan kaki pertama kali, saya merasa memasuki dunia baru, dunia pepohonan dengan tumbuhan menjulang, berbeda dengan pohon beton dan besi yang biasa saya jumpai. Semakin saya masuk ke dalam hutan, semakin saya terpukau dengan keindahannya. Tapi ada hal-hal yang membuat saya sedih, saya melihat sampah bertebaran di sela-sela akar. Sampah ini bisa jadi berasal dari pengunjung, karena saya tidak menemukan tempat sampah di sepanjang jembatan. Selain itu, sampah-sampah ini juga berasa dari aliran sungai. Semoga saja kedepannya ada solusi untuk memecahkan masalah ini, misalnya dengan pembersihan berkala dan meletakkan beberapa tempat sampah di sepanjang jalan.

Karena cukup lelah berjalan, saya pun mencoba untuk beristirahat di sebuah pos di pinggir jembatan. Saya menjumpai banyak sekali pos seperti ini sepanjang perjalanan. Pos-pos ini biasanya difungsikan sebagai tempat untuk beristirahat sambil melihat burung yang sesekali bertengger dan berkicau di ranting-ranting pohon. Selain burung, banyak juga kepiting yang hidup di sungai ini. Uniknya, kepiting ini hanya memiliki satu capit yang besar, kontras dengan capit satunya yang sangat kecil. Capit yang besar digunakan untuk mempertahankan diri dan daerahnya dari serangan kepiting atau hewan lain. Saya yakin pasti akan sangat sakit sekali kalau terkena capitannya. Kepiting ini juga sangat pemalu. Mereka akan segera bersembunyi ke lubangnya begitu merasakan kehadiran makhluk lain. Cukup istirahatnya, saya melanjutkan lagi perjalanan dan  menemukan dua tower untuk melihat keindahan hutan bakau yang hijau ini dari atas. Tower ini sangat aman untuk dinaiki, jadi tanpa ragu saya naik ke tower. Dugaan saya tidak salah, pemandangan dari atas memang lebih spektakuler. Saya bisa melihat jembatan meliuk seperti ular membentang membelah hutan bakau dari tower ini. Dari tower pengawas ini saya juga bisa melihat sunset walau tidak sampai tenggelam di balik horizon karena terhalang rimbunnya pohon bakau. Walau begitu menyaksikan sunset dari hutan bakau merupakan hal yang baru bagi saya. Pun saya juga tidak mau menunggu sampai gelap karena tidak ada penerangan sama sekali di sini.

Untuk mengelilingi hutan ini dibutuhkan waktu sekitar satu jam. Hutan bakau ini cukup ramai dikunjungi. Seperti halnya di tempat wisata, saya menjumpai beberapa pasangan yang sedang berduaan. Ada juga orang yang sengaja datang hanya untuk memancing. Ikan-ikan yang hidup di sini adalah jenis ikan air payau, seperti mujair, bandeng, nila, patin dan masih banyak lagi. Tempat favorit para pemancing adalah di sungai dekat menara pengawas. Melewati para pemancing, saya melanjutkan lagi perjalanan saya. Ada beberapa tempat di mana saya merasa masuk ke dalam gua karena jalan masuknya menyerupai lubang dan langitnya tertutup oleh rimbunnya pohon bakau. Sekali-sekali saya mendengar suara berisik seperti suara monyet tapi saya tidak melihat tanda-tandanya. Suasana saat itu cukup sepi. Saya benar-benar merasa memasuki dunia hutan yang senyap. Tapi sayangnya ada jembatan yang rusak yang belum diperbaiki sehingga saya tidak bisa melangkah lebih jauh. Begitu juga dengan pegangan jembatan yang belum diperbaiki di beberapa tempat. Menambah kesedihan, saya melihat banyak sekali coretan-coretan yang ada di sepanjang jembatan menggunakan spidol atau cat. Sebuah kelakuan mencoret di tempat wisata hanya untuk eksistensi ini harus segera ditindak dengan serius karena sudah menjadi kebiasaan yang merusak keindahan tempat wisata. Dan ini merupakan bukti kalau masyarakat kita belum dewasa.



Goa dalam hutan bakau.

Pun begitu, keeksotisan hutan bakau ini sudah sangat terkenal di kalangan masyarakat Bali sampai-sampai hutan ini menjadi lokasi untuk pengambilan foto prewed. Saya menjumpai sesi pemotretan prewed yang dilakukan di salah satu sudut hutan ini karena memang tempatnya yang menawan. Sang fotografer sangat asik mengarahkan modelnya sampai-sampai tidak mengiraukan orang untuk lewat. Dan pasangan yang menjadi modelnya pun tak kalah senang sekali, terlihat dari senyum mereka setiap kali kamera dibidikkan. Yah, hutan bakau ini memang membuat siapapun terpana oleh keindahannya. Sangat rugi kalau kita tidak menyempatkan diri untuk mengunjungi hutan bakau ini saat pergi ke Bali. 


Di akhir perjalanan, Kita akan disuguhi pemandangan yang tak kalah indah, yaitu laut Bali. Saya memutuskan untuk duduk melepas lelah di sini. Mata kita akan dimanjakan oleh birunya lautan yang membentang di depan kita ditambah dengan langit yang bersih kala itu. Sangat indah, sangat luas dan sangat biru. Angin laut berhembus dengan sedikit kencang menyapu semua kelelahan dalam perjalanan.  Pemandangan indah tersebut memang pantas menjadi puncak dari perjalanan. Sebuah surga yang tersembunyi. Saya pun hampir terlelap karena merasa sangat nyaman dengan ketenangan yang disajikan. Saya merasa lebih ringan karena penat seakan menguap dari pori-pori tubuh saya, tertiup oleh angin yang berhembus. Semenit lebih lama, mungkin saya akan terbang karenanya. Di ujung horison terbentang jalan tol Bali yang sedang memasuki tahap akhir pengerjaaan dari kiri sampai kanan. Itu adalah jalan tol pertama di Indonesia yang dibangun melintasi laut. Dengan agak terpaksa, saya pun akhirnya harus beranjak dari zona nyaman itu karena sudah sangat sore dan hutan bakau akan ditutup. Tapi saya akan kembali lagi untuk mencicipi surga itu kembali!


Jalan tol bali membentang dalam horison.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar